
“Makan sahur nasi
sama goreng telur saja.” Ujar Hasan, sembari mengirimkan gambar nasi dan
sepotong telur, melalui WA kepadaku
Setelah mengucap duakalimat Syahadat, ia, diberi nama Hasan. Tahun 1440 H ini adalah
Ramadhan pertama pagi Hasan.
September 2018 ia datang ke Batam , belajar Islam
di Mahad Said bin Zaid Batam, Mahad ini dikelolah oleh Lembaga Asia Muslim
Charity Fondation (AMCF).
Di pasport
tercantum namanya YemXai Somteng, usianya duapuluh tahun. Pemuda ini berasal
dari sebuah kampung kecil di Provins Oudomxai Laos. Provinsi Oudomxai ini di
Barat Laos berbatasan dengan provinsi Chiang Rai di Thailan Utara.
Aku beberapa
kali ke provinsi itu, daerahnya berbukit bukit subur, hutannya masih lebat.
Terlihat perkampungan di antara lembah bukit itu. Penduduknya di sebut orang
bukit, sebagian dari mereka bertani di lereng bukit itu, padi bukit terkenal
enak seperti ketan rasanya. Baca : Negeri Yang Tak Tersentuh Dakwah Islam?
Dulu hidup orang
bukit ini berpindah pindah nomaden, merambah hutan Laos yang luas itu,
berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih subur, namun setelah
Negara ini berubah dari Kerajaan ke bentuk negara Republik, akses jalanan
transportasi mulai terbuka, sebagian besar desa desa sudah teraliri listrik
termasuklah ke kampung YemXai Somteng.
Tak mudah mencari
kerja di kampungnya, kehidupan disana hanya buru tani, Di Provinsi ini ribuan
hektar kebun jagung dan pisang terhampar luas, sebagaian besar di ekspor ke
China. Laos dengan China berbatasan di utara dengan Kunming provinsi Yunan
China Selatan.
“Dari kampung
saya ke kampung Ismail ada dua kilometer jauhnya.” Ujar Hasan. Baca : Melihat Islam di Laos

Ismail, adalah pemuda
Laos yang pertama memeluk Islam di provinci Oudomxai itu. Mereka bertemu di
Vientiane ibukota Laos.
“Ismail menjelaskan Islam kepada saya, dan mengajak
saya memeluk Islam.” Jelas Hasan lagi.
Laos negara yang
terkungkung daratan, tidak punya akses ke laut, ikan laut termasuk makanan
mahal disana. “Sambal bilis (ikan teri) dari papak sudah habis.” Jelas Hasan. Sehari
sebelum Ramadhan kukirim sambal ikan teri dan kacang tanah, kepada Hasan. Di Mahad
itu tidak kurang ada seratus enampuluh pelajar dari berbagai negara Asean dan
berbagai daerah Indonesia.
Mahasiswa itu yang dari Luar Negeri diberi bea siswa
sebesar 600 ribu rupiah sebulannya untuk makan minum dan keperluan se-hari hari
mereka, jadi cukup untuk beli beras dan indomie. Harus pandai berhemat.
Dari sekian ratus
mahasiswa itu hanya seorang Hasan yang baru memeluk Islam, dia belum pandai
bahasa Indonesia apalagi bahasa Arab. Saat bertemu di Kedutaan Besar Indonesia (KBRI)
Vientiane Laos kami berkomunikasi melalui Android atas jasa google translate.
Alhamdulillah setelah 6 bulan di Mahad Batam, Hasan telah bisa berkomunikasi
dengan lancar bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Karena mahasiswa dari berbagai negara itu tidak mampu saling berkomunikasi sesamanya, selain bahasa Arab. baca : Mengunjungi Saudara Baru di Laos.
“Terima kasih
papak, enak sekali rendangnya, di Laos tidak ada makanan seperti itu.” Kata Hasan.
Sebenarnya selama Ramadhan hendak kuajak Hasan puasa dirumahku saja, tetapi
Mahad tidak libur hingga menjelang hari raya. Cukup jauh jarak antara rumahku
dengan Mahad sekitar 20 kilometer, lagian pula ada program mereke para
mahasiswa itu petang malam dan subuh.
“Agak lapar
sedikit.” Ujar Hasan saat kutanya perasaannya di puasa Ramadhan pertama ini
baginya. Seorang teman memberikannya duit untuk membeli HP Android yang dapat
mendonlod bacaan Quran. HP nya dulu sudah rusak pecah kaca layarnya. Lagian memorynya
tak muat lagi bila ditambah program.