"Saya asal kota Belud dari suku Iranun". tulis Akiah Barabag.
"Insya Allah 1 hari bulan April ini nak ke Batam bersama seorang teman dari Kelantan." tulisnya lagi.
"Adakah disana orang Iranun.?" tanyanya lagi.
Akiah Barabag demikian nama lelaki 57 tahun ini, kenal di Medsos dan selalu berkomunikasi, punya kegemaran yang sama suka bekpekeran. Sewaktu saya ke Yangon pertama kali, Ia yang mengenalkan Aung San orang Burma beragama Budha yang fasih berbahas melayu. Dan Aung San sangat banyak membantu perjalananku selama di Yangon Myanmar.
Sungguh aku tak begitu faham tentang sejarah per-melayu-an meskipun acap mengunjungi puak puak Melayu dimerata rantau Asean. Sehingga seorang teman Prof. Nik Rakib Nik Hassan pensyarah dari universitas Songkhla kampus Patani pernah mengundangku ke Patani di majelis yang diadakannya, dan akupun menceritakan pengalamanku tentang Melayu yang ada di Asean.
Kubuka wikipedia tentang Iranun, ternyata suku ini berasal dari satu daerah di Mindanao, Piliphina Selatan sekarang, iyalah kesultanan Islam yang menyebarkan agama ke bumi Sabah ratusan tahun yang lalu, jauh sebelum Portugis dan Spanyol menjajah. Boleh dikata suku Iranun adalah penduduk awal yang ada di Sabah.
Bagaimana orang orang Iranun ini ada di Batam atau di Kepulauan Riau sekarang?. Kuhubungi sahabat ku yang dikenal dengan nama Samson Rambah Pasirr, apakah bang Samson demikian aku memanggilnya tahu keberadaan orang Iranum di Batam?. Aku disuruh menghubungi pak Makmur mantan Ketua Lembaga Adat Melayu, mungkin lebih mengetahuinya lagi. Dari pak Makmur aku dianjurkan menghubungi pak Abdurrahman di Penyengat.
Hari itu kamipun berangkat ke Penyengat, satu pulau sekitar 35 kilometer dari Batam, pulau bersejarah ini, adalah mas kawin dari Raja Hamidah yang dikenal dengan Engku Putri.
Dari Batam naik ferry sekitar 1 jam, dari pelabuhan Tanjung Pinang kami naik pompong lagi sekitar 15 menit, tiba di Pulau itu, pulau tempat Makam Raja Ali Haji pengarang Gurindam Dua Belas yang tersohor itu.
Alhamdulillah, saat menunggu pompong di Tanjung Pinang yang akan membawa kami ke Pulau Penyengat kami bertemu dengan seorang ibu yang kebetulan adalah kemenakan dari Om Abdurrahman demikian ibu guru ini memanggil pamannya itu. Iapun menghubungi Raja Haji Abdurrahman, bahwa kami akan bertemu dan berjanji bertemu di Masji Raya Sultan Riau. Klop.
Selepas shalat Juhur kami diterima Raja Haji Abdurrahman, beliau salah seorang keturunan Raja Raja Penyengat dan kini menjabat sebagai Ketua Masjid Raya Sultan Riau di Penyengat itu. Masjid yang sudah dibina ratusan tahun ini dulu campuran semen nya terdiri dari puluhan ribu putih telur masih terawat rapi dan bersih hingga kini.
"Tidak ada catatan tertulis tentang kedatangan orang Iranun, ke Kesultanan Riau." jelas Raja Haji Abdurrahman. Ia memaklumkan memang sekitar pada tahun 1786 Sultan Mahmud yang memerintah Riau
telah menghantar utusan kepada Raja Tempasuk untuk meminta bantuan orang2
Iranun membantu menghalau Belanda di kepulauan Riau.
Setelah Belanda
keluar dari Riau Sultan Mahmud telah berpindah ke Lingga manakala
pasukan perang Orang2 Iranun telah balik ke Tempasuk dan ada yang ikut
berpindah ke Lingga. Manakala di Pulau Penyengat tiada lagi orang2
Iranun sehingga kini. Jelasnya lagi.
Saat berpindah ke Lingga yang tinggal di Tanjung Pinang hanyalah orang-orang Cina yang membuka usaha kapur ujar pria 60 an tahun itu.
Perlu rasanya ke Lingga nak memastikan bahwa memang masih ada orang Iranun dahulu yang tidak ikut pulang ke Sabah. dan konon sebagian orang Iranun berada di Belitung.
Petang itu kami pulang kembali ke Batam, setelah mengunjungi makam Engku Putri, makan nasi masakan Padang di warung pinggir laut Tanjung Pinang terlihat nikmat sekali pak Akiah Barabag menyantapnya. "Terutama sambal cabe ijo" ujar Nik Azimi Nik Supian teman seperjalan dari Kelantan menimpali.