Masjid Pandito, Masjid Bersejarah di Bukit Senyum Batam


Gambar mungkin berisi: 1 orang, duduk




Awal tahun 70 an masjid ini mulai dibangun, terletak di bukit tertinggi di daerah Batu Ampar Batam. Bukit itu diberi nama Bukit Senyum. Banyak versi tentang pemberian nama bukit ini, dari bukit ini pandangan kita lepas ke selat Singapura, hari cerah gedung gedung pencakar langit di negara tetangga yang dulu bernama Temasik itu terlihat jelas, kapal kapal yang berlabuh dan lalu lalang, terkadang orang pun acap memandangi kembang api saat perayaan di negara pulau itu dari bukit itu.

Lebih 500 meter agaknya dari permukaan laut tingginya bukit ini, Kontraktor yang membangunnya PT Pandito, jadi dulu, kami menggelar masjid itu dengan nama masjid Pandito. Selama pembangunan masjid itu pekerja dari luar daerah yang didatangkan menginap dan tinggl di barak yang disediakan, ada juga sebuah bangunan direksi kit namanya. Aku acap tidur di disitu, sembari menunggu lori yang hendak ke Sekupang. 

Masjid pertama di Batam dibangun permanen dan lumayan besar adalah masjid Pandito ini, sekarang diberi nama Masjid Baitul Makmur, dari lokasi masjid ini turun kebawah arah ke selatan terdapat perkampungan Sungai Jodoh disitupun ada masjid dulu namanya Masjid Sei Jodoh yang juga sekarang diberi nama Masjid Baitusy Syakur. 

Sepanjang jalan dari Masjid ke Sei Jodoh berdiri komplek perumahaan Pertamina ratusan keluarga jumlah penghuninya, sepertinya memang masjid itu dibuat untuk staf dan karyawan Pertamina, bentuk arsitekturnya pun mirip dengan masjid di komplek perumahaan Pertamina di tempat lain. 

Gambar mungkin berisi: 3 orang
 Istimewanya masjid ini dulu dibagian atasnya dapat menampung air hujan. Belum ada water treadment plan di Batam, orang mengandalkan air dari hujan dan air sumur serta kolam kolam kecil tadah hujan yang diangkut dengan lory, tidak setiap perusahaan pula punya lory tangki air.
Setelah itulah dibangun tangki penampungan air di arah timur dari masjid itu, orang menyebutnya tangki seribu, bukan tangkinya yang seribu tetapi kapasitasnya seribu kiloliter, airnya di alirkan dengan pipa hampir sepuluh kilometer panjangnya dari waduk buatan dam Baloi. 

Batam terus berkembang kini ratusan masjid masjid baru dibangun, pendudukpun berdatangan ke Batam, ada yang sudah punya rumah, ada yang mendirikan rumah sekadarnya saja, termasuk lah rumah rumah tanpa izin disekitaran masjid dan sekitaran Tangki Seribu tadi. Komplek Perumahan Pertamina pula sudah banyak yang hancur, ada lokasinya sudah beralih fungsi pula. 

Lama juga tidak salat ke masjid ini, kawan kawan yang dulu sudah rata rata pada pensiun semua, sebagian besar sudah pula dipanggil Allah SWT, ada pula yang pindah ke berbagai daerah sewaktu peralihan dari Pertamina ke Otorita Batam. 

Gambar mungkin berisi: 2 orang, orang dudukKemarin malam aku sengaja salat Taraweh kesana, masjid itu sudah bertambah besar, ruang utamanya, sudah ditambah ke belakang (timur), rencana ini dulu kudengar dari pak Mawardi Harni, kini ia sudah almarhum, mantan anggota Legislatip yang juga staf Otorita Batam itu, cukup lama juga menjadi takmir masjid. Kulirik ke kanan dan kekiri setelah salat tahyatul masjid ratusan jamaah sudah memadati ruangan,  anak anak berlarian kesana kemari riuh rendah. 

Seseorang menegurku, dan sangat kukenal lelaki itu, Juwadi namanya, sepertinya hanya ia seorang saja kayawan Pertamina yang masih aktif datang ke masjid ini, kami salaman, umurnya kini 64 tahun, dia masih ikut mengurusi masjid itu, dulu sebelum pengelolaan masjid ini diambil alih oleh Yayasan Arafah sejak Maret 2018 (pembinanya Asman Abnur) Mas Juwadi adalah Bendahara Masjid Baitul Makmur itu. 

Dulu ada seorang Imam di masjid itu ustadz Yanis namanya, sarjana ilmu Alquran pernah jadi Juri Nasional Musabaqah Tilawatil Quran yang diadakan di Batam, kini ia sudah meninggal dunia. Salah seorang santrinya Akhmad sekarang, menggantikan beliau jadi salah seorang imam di masjid itu. Aku dipeluk dan diciuminya cipika cipiki. “ Sudah berapa umurmu.” Tanyaku. “empat puluh enam pak.” Jawabnya. Habis salat Isya menjelang salat Taraweh ustadz Haruna Lc dari Yayasan Arafah memberikan ceramah agamah.

Selepas taraweh kami berbincang sebentar, mas Juwadi masih menghitung uang kotak infaq, hampir dua juta rupiah malam kemarin katanya.  Jadi ingat alm. pak Yanis, dulu adalah guru di sekolah kami, ia mengajar Alquran dan tajuid. Aku menuju ke luar dari koridor taman masjid ini tertana indah, memandang ke luar lampu gedung pencakar langit negara tetangga itu terlihat indah, lampu lampu dari kapal berwarna warni berkelap kelip. Lampu Batam pun terlihat dari pelataran masjid itu, gedung tinggi mulai bermunculan, akh Batam begitu menawan.

Kuturuni tangga masjid itu perlahan satu persatu, dulu mengejar lory yang hendak berangkat menuju Sekupang aku berlari lari kecil dari pinggir pantai diketinggian nol permukaan laut ke ketinggian 500 meter, telambat sedikit saja jangan harap akan ditunggu alamat jalan kaki lah yang jauhnya diatas 20 kilometer itu.   
      
Agak licin sedikit tangga masjid itu karena ada hujan gerimis sebelumnya, tiba tiba aku didatangi puluhan anak anak usia sekolah SD dan SMP, mereka berteriak memanggil namaku, pak Imbalo, pak Imbalo, salat disini ya, berebutan mereka menyalami dan menciumi tanganku. Iya mereka semua adalah murid Sekolah Islam Hang Tuah yang kudirikan tiga puluh tahun yang lalu. Ternyata anak anak yang hilir mudik lari sana sini tadi didalam masjid sebagian dari mereka, jamaah yang sembahyang salat Isya dan Taraweh tadipun orang tua mereka. 

Aku pulang dari masjid yang penuh kenangan itu, salat subuh besok rencana mau salat di masjid itu lagi.