Lebih 500 meter
agaknya dari permukaan laut tingginya bukit ini, Kontraktor yang membangunnya
PT Pandito, jadi dulu, kami menggelar masjid itu dengan nama masjid Pandito.
Selama pembangunan masjid itu pekerja dari luar daerah yang didatangkan
menginap dan tinggl di barak yang disediakan, ada juga sebuah bangunan direksi
kit namanya. Aku acap tidur di disitu, sembari menunggu lori yang hendak ke Sekupang.
Masjid pertama di
Batam dibangun permanen dan lumayan besar adalah masjid Pandito ini, sekarang
diberi nama Masjid Baitul Makmur, dari lokasi masjid ini turun kebawah arah ke
selatan terdapat perkampungan Sungai Jodoh disitupun ada masjid dulu namanya
Masjid Sei Jodoh yang juga sekarang diberi nama Masjid Baitusy Syakur.
Sepanjang jalan
dari Masjid ke Sei Jodoh berdiri komplek perumahaan Pertamina ratusan keluarga
jumlah penghuninya, sepertinya memang masjid itu dibuat untuk staf dan karyawan
Pertamina, bentuk arsitekturnya pun mirip dengan masjid di komplek perumahaan
Pertamina di tempat lain.
Istimewanya masjid ini dulu dibagian atasnya dapat
menampung air hujan. Belum ada water treadment plan di Batam, orang
mengandalkan air dari hujan dan air sumur serta kolam kolam kecil tadah hujan yang
diangkut dengan lory, tidak setiap perusahaan pula punya lory tangki air.
Setelah itulah
dibangun tangki penampungan air di arah timur dari masjid itu, orang
menyebutnya tangki seribu, bukan tangkinya yang seribu tetapi kapasitasnya
seribu kiloliter, airnya di alirkan dengan pipa hampir sepuluh kilometer
panjangnya dari waduk buatan dam Baloi.
Batam terus
berkembang kini ratusan masjid masjid baru dibangun, pendudukpun berdatangan ke
Batam, ada yang sudah punya rumah, ada yang mendirikan rumah sekadarnya saja,
termasuk lah rumah rumah tanpa izin disekitaran masjid dan sekitaran Tangki
Seribu tadi. Komplek Perumahan Pertamina pula sudah banyak yang hancur, ada
lokasinya sudah beralih fungsi pula.
Lama juga tidak
salat ke masjid ini, kawan kawan yang dulu sudah rata rata pada pensiun semua,
sebagian besar sudah pula dipanggil Allah SWT, ada pula yang pindah ke berbagai
daerah sewaktu peralihan dari Pertamina ke Otorita Batam.
Kemarin malam aku
sengaja salat Taraweh kesana, masjid itu sudah bertambah besar, ruang utamanya,
sudah ditambah ke belakang (timur), rencana ini dulu kudengar dari pak Mawardi
Harni, kini ia sudah almarhum, mantan anggota Legislatip yang juga staf Otorita
Batam itu, cukup lama juga menjadi takmir masjid. Kulirik ke kanan dan kekiri
setelah salat tahyatul masjid ratusan jamaah sudah memadati ruangan, anak anak berlarian kesana kemari riuh
rendah.
Seseorang
menegurku, dan sangat kukenal lelaki itu, Juwadi namanya, sepertinya hanya ia
seorang saja kayawan Pertamina yang masih aktif datang ke masjid ini, kami
salaman, umurnya kini 64 tahun, dia masih ikut mengurusi masjid itu, dulu
sebelum pengelolaan masjid ini diambil alih oleh Yayasan Arafah sejak Maret
2018 (pembinanya Asman Abnur) Mas Juwadi adalah Bendahara Masjid Baitul Makmur
itu.
Dulu ada seorang Imam di masjid itu
ustadz Yanis namanya, sarjana ilmu Alquran pernah jadi Juri Nasional Musabaqah
Tilawatil Quran yang diadakan di Batam, kini ia sudah meninggal dunia. Salah
seorang santrinya Akhmad sekarang, menggantikan beliau jadi salah seorang imam
di masjid itu. Aku dipeluk dan diciuminya cipika cipiki. “ Sudah berapa umurmu.”
Tanyaku. “empat puluh enam pak.” Jawabnya. Habis salat Isya menjelang salat
Taraweh ustadz Haruna Lc dari Yayasan Arafah memberikan ceramah agamah.
Selepas taraweh
kami berbincang sebentar, mas Juwadi masih menghitung uang kotak infaq, hampir
dua juta rupiah malam kemarin katanya. Jadi ingat alm. pak Yanis, dulu adalah guru di
sekolah kami, ia mengajar Alquran dan tajuid. Aku menuju ke luar dari koridor
taman masjid ini tertana indah, memandang ke luar lampu gedung pencakar langit
negara tetangga itu terlihat indah, lampu lampu dari kapal berwarna warni
berkelap kelip. Lampu Batam pun terlihat dari pelataran masjid itu, gedung
tinggi mulai bermunculan, akh Batam begitu menawan.
Kuturuni tangga
masjid itu perlahan satu persatu, dulu mengejar lory yang hendak berangkat
menuju Sekupang aku berlari lari kecil dari pinggir pantai diketinggian nol
permukaan laut ke ketinggian 500 meter, telambat sedikit saja jangan harap akan
ditunggu alamat jalan kaki lah yang jauhnya diatas 20 kilometer itu.
Agak licin
sedikit tangga masjid itu karena ada hujan gerimis sebelumnya, tiba tiba aku
didatangi puluhan anak anak usia sekolah SD dan SMP, mereka berteriak memanggil
namaku, pak Imbalo, pak Imbalo, salat disini ya, berebutan mereka menyalami dan
menciumi tanganku. Iya mereka semua adalah murid Sekolah Islam Hang Tuah yang
kudirikan tiga puluh tahun yang lalu. Ternyata anak anak yang hilir mudik lari
sana sini tadi didalam masjid sebagian dari mereka, jamaah yang sembahyang salat
Isya dan Taraweh tadipun orang tua mereka.