Yangcik Perempuan Tangguh dari Pulau Sembur: Dengan Cekatan Mengemudikan Pompong Diantara Pulau Pulau Batam


 Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih, langit, awan, luar ruangan, air dan alam
Usianya tidak muda lagi, sudah sebaroh baya, namanya dipanggil Yangcik,  anak kesayangan yang paling kecik. Agaknya itulah singkatan namanya, hingga tuapun sudah bercucu, orang orang kampung memanggilnya seperti itu.  Dia anak perempuan ke enam nenek Gumala Pulau Sembur.  Waktu dara badannya taklah segemuk sekarang. Dengan cekatan dia mengendalikan pompong yang membawa kami ke Pulau Teluk Nipah. Tiang kemudi pompong dari mesin Dompeng 5 Pk itu menderu melalui selat selat diantara pulau pulau yang kami lalui. 

Terlihat hafal betul Yangcik, alur alur laut disekitar Pulau Sembur itu, bagaimana tidak sejak tok toknya lagi sudah bermukim disana,  mana tubir, mana pasir, sejak balita sudah diharungi. 
“Tolong engkolkan mesin tu, kami nak ke tempat Jamil.” Katanya menyuruh mintah tolong seorang pemuda tanggung yang sedang berdiri diplantar.
  
Siang itu sabtu, (1/6) bulan Ramadhan, tak terlihat orang lelaki dewasa, agaknya banyak pergi ke laut. Rumah Jamil yang hendak kami tuju itu ada di depan seberang Pulau Sembur, di Pulau Teluk Nipah itu, ada puluhan keluarga Suku Laut berkumin. Belasan dari keluarga itu beragama Islam, ada sebuah musholah kecil kami dirikan disana belasan tahun yang lalu.

Ngengkol, atau memutar mesin Dompeng orang nelayan menyebutnya sejenis mesin Yanmar yang minyaknya Solar, tidak ada staternya itu, engkol yang berbentuk Z kalau tidak pndai pandai bisa mengantam kepala kalau berbalik tak tuak, gigi bisa copot dihantamnya. “Tak kuat lagi aku nak nengkolnya lagiansuadah tua dan puasa lagi.” Ujar Yangcik 

Asap dari knalpot mesin itu menghitam setelah itu terdengar bunyi yang memekakkan telinga, bunyi khas mesin Dompeng. Pengemudi pompong (boat) ini disebut tekong. Duduk dibelakang memegang tangkai kemudi yang terbuat dari kayu, terkadang asap mesin Solar itu menerpa muka sang Tekong karena sememangnya angin berhembus ke buritan pompong itu. 

Hampir semua nelayan di pulau pulau sekitaran Batam memiliki pompong dengan mesin dompeng seperti itu, macam macam ukurannya baik pompongnya ataupun mesinnya. Terkadang mereka pergi melaut bersama bagi yang tak punya atau berkongsi. 

Kuaraih tali sebelah depan pompong tu hendak mengikat ke tiang pelantar rumah Jamil, tetapi pompong bergoyang, menjauh pula. Ingat saat Teteh Lilis Lisharti dulu, kami pergi bersama ke pulau pulau, pompong menjauh karena tertolak tangan yang memegang tiang pelantar, teteh Lilis, wartawati Batam Pos ini kecemplung ke laut.

“Biar saya saja yang ngikatnya pak, bapak naik saja.” Ujar Yangcik melihat aku tergoyang goyang. Aku menaiki tangga tangga kayu kecil dan tali itu kubawa keatas. Yangcik dengan cekatan mendekat dan mengikatkan tali pompong itu. Ia tersenyum saat kulihat kakinya tak memakai alas. “Orang pulau begini pak, tak pakai alas kaki nak bejalan, susah kalau nak turun naik macam ni.” Kata Yangcik dengan logat melayu khas pulau sana. 
   
“Tak ada ikan belakangan ini, kami sahur makan lauk indomie saja.” Ujar Jamil setiba kami di Pulau Teluk Nipah. Melaut mesti agak jauh dari tempat mereka. Diplantaran itu kami lesehan papan plantar sudah kering kena panas matahri, sedari pagi hujan mengguyur. Yuyun Yuliati Wartawati dari Batam Pos koran Lokal Batam, itu memberikan amplop yang berisi sejumlah uang zakat dari Karyawan Korn itu kepada ustadz Budi, Dai asal Medan yang menetap di Pulau Teluk Nipah itu. 

Kami bergegas lagi nak balik ke Pulau Sembur dengan Pompong Tekong, Yangcik. Tak terbayangkan sebelumnya, yang mengengkol mesin dompeng itu setelah mesin hidup dan pompong berjalan, dia harus keplantar lagi dengan melompat, resiko ya kecebur laut kalau tidak cekatan.    
            
Alhamdulillah kami sampai dengan selamat di Pulau Sembur, pemilik boat pompong yang kami pakai begitu saja, sudah berdiri di tepian plantar. Rupanya dia mendengar suara khas pompongnya dibawa orang. Tetapi tahu kalau yang membawa Yangcik yang dikenalnya, orang sepantaran neneknya. Begitulah kekerabatan di pulau itu.

Arus mulai surut, agak deras kulemparkan tali ke tiang yang menancap dekat plantar tetapi tidak mengena, lepas.  Akh sekali lagi aku gagal jadi pelempar tali. Kembali lagi Yangcik yang melaksanakan.

Related Posts :