“Ustadz Budi lagi
di mushola pak.” Ujar isteri ustadz Budi menjawab teleponku kemarin sebelum
Juhur. Ustadz Budi pria 30 an tahun asal Medan ini sudah beberapa bulan tinggal
di Pulau Teluk Nipah. Ia bersama isteri
dan ke lima anaknya menetap disana sebagai Dai, ditempatkan oleh Lembaga Amil
Zakat (LAZ) Batam dulu LAZ ini berkantor di Masjid Raya Batam.
Pulau Teluk Nipah,
mauk ke camatan Galang, terletak antara Pulau Batam dan Pulau Bintan, kalau lihat map, malah pulau ini
lebih dekat lagi ke Tanjung Pinang dari kan ke Batam. Di Pulau kecil itu
berdiam para nelayan dari suku laut, yang dulu nomaden, sekarang mereka
membangun rumah rumah sangat sederhana di pinggir pantainya. Ada puluhan
keluarga mereka tinggal disana, belasan dari keluarga nelayan suku laut itu mengaku
beragama Islam. Pemahaman mereka pun terhadap Islam masih sangat awam dn sederhana sekali.
Jauh sebelum
Indonesia wujud nenek moyang mereka sudah melanglang buana dilautan itu, terakhir
tempat kediaman mereka itu termasuk Pulau Sembur adalah masuk kedalam wilayah
Kesultanan Islam Johor Riau Lingga. Itu sejarah dulu sebelum negeri ini republik masih diperintah para Raja.
Awal tahun 2010
kami dirikan sebuah mushola disana atas bantuan dari donatur AMCF (Asia Muslim
Charity Fondation), kecil saja berukuran 5 x 5 meter sangat sederhana, atap
dari seng, kosen pintu dan jendelanya dari kayu termasuk flapondnya rangka kayu
juga. Karena memang sebegitulah anggaran yang ada. Diakui mobilisasi bahan bangunan ke pulau cukup mahal. Alhamdulillah lantainya
dipasangi keramik waktu itu harganya 25 ribu rupiah permeternya, keramik paling
murah saat itu.
Atap seng itu
sudah berkarat dan lapuk sebagian besar, flapond sudah dimakan rayaf rangka tripleknya,
begitu juga kosen daun pintu dan jendela juga terkena rayap yang memang dari
kayu bahan yang paling disenangi rayap. Lobang jendelanya kini dipasangi dengan potongan kayu bulan kaca nako tak bisa dibuka lagi. Tetapi lantainya masih baik lagi.
Lantai itulah yang setiap saat sebelum shalat dilaksanakan, di bersihkan dan
dipel terlebih dahulu oleh ustadz Budi dari air hujan.Mushola ni Macam dah nak Roboh.
Belakangan ini
sedang musim hujan ditempat kami, terkadang siang hujan malam hujan lagi, bisa
tiga kali ustadz Budi mengeringkan air hujan yang memenuhi lantai mushola itu
satu harinya.
“Rencana ustadz
Budi mau mudik ke Medan, seorang saja, kami balik ke Pulau Kasu.” Kata isterinya
lagi. Ustad Budi sudah lama juga tidak pulang ke Medan, entah berapa tahun, rencana
mau pulang tahun 2019 ini, tetapi hingga mendekati lebaran belum juga ia
berangkat. “Tak ada ongkos, Ongkos pesawat pula mahal kali, mau naik kapal laut saja kalau ada duit.” Katanya lagi. Rindu sekali ia naka balik bertemu dengan keluarganya di Medan.
Kemarin sabtu (1/6)
aku mengunjungi ustadz Budi, bersama Jamil kami melihat kondisi moshola yang lokasi
tanahnya ini diwakafkan oleh pak Dolah sudah meninggal dunia, sangat
memprihatinkan. “Belum ada yang mau bantu, pak.” Kata ustadz Budi.
Lantainya
terlihat bersih atapnya bolong disana sini, plank nama mushola ini pun sudah
copot tergeletak dibawah rusak. Tandon air yang dulu kami bawa kesitu, masih
berfungsi lagi. Sudah beberapa Dai yang tinggal di Pulau Teluk Nipa itu, mereka
tidak tahan lama menetap disitu, ada yang terkena serangan nyamuk malaria.
Mudah mudahan ustadz Budi masih bisa bertahan, sungguh bantuan honor yang
diterimanya sangat sangat tidak cukup untuk menutupi biaya keluarganya.
“Terimakasih pak
Imbalo sudah datang menjenguk kami kesini.” Ucap ustadz Budi. Kusalamai ia
berulang kali, tidak mudah membina aqidah masyarakat di pulau terpencil,
apalagi masyakat nelayan kecil yang hidupnya terkadang lebih banyak dilaut,
dari didarat. “Sudah berapa hari tak ke laut.” Ujar Jamil menimpali, ikan untuk
lauk saja pun susah tambahnya.
Hati ini hanya pilu
menatap bangunan mushola itu, masih mereka tempati untuk tempat sholat dan taraweh
berjamaah meskipun hanya beberapa orang saja. karena hanya itu bangunan yang ada di permukaan tanah di darat. Jadi ingat kala di Batam, beramai ramai orang
sholat di masjid yang berpendingin ruangan dengan karpet yang tebal. Memang
rasanya terlalu jauh sekali ke Pulau Teluk Nipah sana, seakan tak terjangkau saudara, apalagi di
bulan puasa, seperti saat ini.