"SEMBOYAN KAMI ANGKASAWAN RRI
SEKALI DI UDARA TETAP DI UDARA.
SEMENJAK EMPAT LIMA
TAK PERNAH BERHENTI
PATUH DAN SETIA BERJIWA PANCASILA
TRY PRASETYA LANDASAN KERJANYA
AMPERA TUJUAN UTAMA
PENUH PENGABDIAN PADA REVOLUSI
DEMI TUHAN DEMI PERTIWI
SEKALI DI UDARA TETAP DI UDARA."
Lagu ini mengingatkanku saat aku dihubungi awak RRI Batam. Lagu ini juga mengingatkanku akan perjuangan Bung Tomo dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Lagu ini mengingatkan para Angkasawan RRI Madiun, terhadap PKI Muso 1948, demikian juga pada 1 Oktober 1965 G30 S PKI. Para Angkasawan itu berjiwa Pancasila dan Demi Tuhan dan Demi Pertiwi. Menitik Air mata mengenangnya.
“Assalamualaikum
pak, saya Sarah dari RRI Batam, izin pak, bapak punya waktu sebentar.” Tulis
reporter RRI Batam masuk ke WA ku sedang aku berada di ruang utama masjid Raya
Batam, menunggu hendak melaksanakan
shalat Jumat (7/6) lalu.
“Lagi dalam
masjid, hendak shalat jumat.” Jawabku sembari menayakan kira kira apa ya
keperluannya. “Mau wawancara bapak, via by phone boleh, atau ketemuan langsung
sama bapak.” Tulisnya lagi.
Sarah mau bikin
Feature Cermin Kehidupan, acara yang dikelolanya, kami janjian selepas shalat
jumat di depan Masjid Raya Batam, di depan Masjid itu berdiri Gedung Graha
Pena, salah satu ruangan lantai 3A ditempati oleh RRI Batam sejak setahun yang
lalu setelah pindah dari Gedung Polyteknik Batam.
Banyak yang
ditanyakannya kepadaku seputar kehidupan melalui telephon, sejak keluar pintu
gerbang masjid Raya itu hingga menjelang sampai rumahku di Jalan Ranai Bengkong
Polisi, berjarak sekitar 11 kilometer. Kulayani semua pertanyaannya, terutama
mengenai kehidupan para nelayan di pulau pulau yang acap kukunjungi.
“Ini siaran
langsung kah.” Tanyaku pada Sarah, ternyata hanya direkam dahulu dan nantinya
akan disiarkan setelah diedit. Kutanyakan demikian, karena kuberitahukan kepada
Sarah daerah mana sajakah yang masih mendengarkan siaran dari Radio terutama
RRI. Aku sendiripun nyaris tak pernah mendengar siaran radio yang mottonya
SEKALI DIUDARA TETAP DIUDARA ini. Beberapa kali menjadi nara sumber di RRI
sewaktu masih mereka masih beroperasi di
Gedung Polyteknik Batam. Mungkin jarak jalan di Batam yang tak begitu jauh tak
sempat memutar siaran RRI lagi.
Sering pula
bertemu dengan awak Angkasawan RRI ini saat Rapat Dengar Pendapat izin untuk prequency
radio swasta yang beroperasi di Batam. Radio yang beroperasi di 105,1 Mhz ini,
tahu betul hasil survey yang dikeluarkan lembaga survey yang kredibel berapa
percent lagi masyakat mendengarkan siaran radio. Disamping itu sungguh sulit
mendapatkan pequency siaran radio di Batam daerah perbatasan ini.
Ada tiga jenis
siaran radio yang menggunakan prequency yaitu Nasional, swasta dan komunitas. Frequency Nasional ya hanya RRI, swasta di Batam sudah dialokasikan kepada
pengelola lainnya, hanya enam saja yang mendapat izin walaupun, sudah rebutan,
tinggal komunitas. Izinnya, peraturannya hampir sama dengan swasta, tetapi
jarak jangkaunya sangat terbatas. Dan didalam frequency yang dizinkan itu, salah satunya
Stasiun Radio Komunitas yang dikelola Sekolah kami Sekolah Islam Hang Tuah
Batam.
Jadi sedikit
banyak tahulah kami tentang per-radion ini, tentang aturan mainnya. Terutama sumber
uang pemasukannya. Rebutan frequency terus di siaran analog kami beralih
kesiaran digital, tidak terlalu ribet, tidak memerlukan izin yang signifikan, karena
sememangnya stasiun yang kami dirikan untuk pelatihan para siswa yang
bersekolah dan belajar di Jurusan Multi Media SMK Islam Hang Tuah. Bukan untuk
siaran komersil.
Kukatakan kepada
Sarah, di Batam jarang orang mendengar siaran radio lagi apalagi siaran RRI,
tetapi dari hasil pantauan karena acap berjalan ke pulau pulau sekitaran Batam,
penduduk di pulau pulau itu masih banyak mendengarkan siaran radio, sering
kudengar mereka membuka radionya. Apalagi acara seperti Rentak Melayu, Lagu
lagu permintaan. Di Pompong perahu bermesin yang kutompangi pun suara RRI ini
masih dapat didengar, ditimpali suara mesin dompeng perahu mereka. Apalagi
malam hari saat memancing dan menangkap ikan suara radio dari hanphone mereka
acap terdengar.
“Cobalah dari RRI
memberi para nelayan dan penduduk kampung nelayan itu radio kecil.” Saranku kepada
Sarah, untuk membeli battery mereka masih mampu lah, tambahku lagi. Lagian
mereka tidak akan menonton televisi, karena listrik tidak menjangkau kediaman
mereka, dulu memang ada televisi dihidupkan dengan accu, tetapi sekarang tidak
ada lagi. Apalagi kalau sedang berada di atas perahu, mana bisa tengok
televisi. Tetapi radio dengan jelas dapat ditangkap siarannya.
“Nak beli
radiopun tak tau entah dimana, yang cukup satu band saja.” Jelasku lagi.