Wisata Dakwah Ala Bu Yulia dan Bu Elly (1)


"Saya sudah di Batam pak" tulis bu Yulia melalui WA. "Sekarang menuju Bandara Hang Nadim, jemput bu Elly dari Jakarta" tulisnya lagi.

Hari itu Rabu 8 Maret 2017, sekitar tengah hari, ibu Yulia dengan Ferry dari Singapura, Ia memang menetap di Singapura sudah belasan tahun ikut suami yang bekerja disana. Batam - Singapura hanya hitungan menit saja dengan Ferry, dari mulai pukul 6 pagi sampai 10 malam puluhan trip hilir mudik melayani penumpang.

Seperti bu Yulia, puluhan lagi keluarga asal Indonesia yang menetap ikut suami atau bekerja di Singapura. Suami bu Yulia asal Jepang, kami bertemu beberapa tahun yang lalu disalah satu Masjid di Shanghai Cina.  Lelaki 50 an tahun itu memang terlihat seperti orang Cina, surprais rasanya ada yang menegur dalam bahasa Indonesia didalam masjid lagi.

Sejak itu kami berteman di Medsos,hampir seluruh dunia sudah dikunjungi mereka, karena tuntutan kerja. Begitu juga dengan Bu Elly, yang bersuamikan orang Australia ini , bekerja di oil dan gas, beberapa bulan yang lalu bu Elly dan suaminya kembali ke Indonesia menetap di Jakarta.

Bu Elly dan bu Yulia membuat group ibu ibu ekspatriat yang menetap di Singapura, mereka mengumpulkan uang untuk bakti sosial keberbagai daerah di Indonesia. Ternyata hal ini sudah dilakukan bebrapa tahun yang lalu, menyantuni anak anak kurang mampu terutama yatim piatu di Batam.

Setelah dari Bandara Hang Nadim mereka berdua ke Sekolah Islam Hang Tuah, Sekolah ini sebenarnya sudah mereka kenal jauh jauh hari lagi, beberapa anak asuh group Bu Yulia ini bersekolah di sekolah swasta yang beralamat di Bengkong Polisi.

Tengah hari itu keduanya disuguhi minuman daun mint yang tumbuh di halaman sekolah, bercerita  tentang kondisi anak didik, bayaran sekolah menunggak keluhan guruh didengarkan dengan telaten mereka berdua.

Ada empat kategori anak didik ucapku kepada mereka, yaitu :
1. Orang tuanya berada dan kaya, anaknya pinter. Bisa sekolah dimana yang diinginkannya termasuk ke sekolah pavorit diseluruh dunia.
2. Orang tuanya berada dan  kaya, anaknya kurang pinter, mau sekolah juga bisa dimana saja, walupun tidak disekolah pavorit.
3. Orang tuanya miskin tidak mampu, sementara anaknya pinter, ini juga banyak yng bantu terutama bea siswa.danyang ke
4. Orang tuanya tidak mampu miskin , sementara anaknya tidak pinter. ini yang jadi masaalah, sush mendapatkan bea siswa untuk masuk sekolah negeri pun susah karena dibatasi angka kelulusan.

Dan murid seperti itulah yang mendominasi di Sekolah Swasta Islam Hang Tuah, hampir 90 persen muridnya seperti itu.Menghadapai anak anak bermasaalah, ditinggalkan oleh ibu bapanya, tidak semua anak yatim piatu. Keluhan itu didengarkan oleh kedua Ibu yang menjadi koordinator group ekpatriat itu.

Setelah itu mereka berdua menuju satu tempat para muallaf di sekitar daerah Batu Aji, besok hari Kamis pagi kami akan berangkat ke Pulau Galang Baru sekitar 80 kilometer dari Batam. Disana ada sebuah sekolah ditengah tengah pemukiman nelayan suku laut, tentu dipinggir pantai.

 Mengunjungi desa nelayan melihat anak yang akan dibantu bea siswanya, menjadi komitmen mereka, beberapa rumah penduduk kami datangi yang anaknya masih mau bersekolah tetapi orang tuanya sudah tidak ada. Malah kedua mereka bersepakat memberikan bantuan kepada bu Juli seorang pengajar disekolah swasta yang kini kesulitan uang untuk meneruskan kuliahnya di Universitas Terbuka.

Pulang kembali ke Batam melalui beberapa jembatan, kami singgah di bekas Camp pengungsi Vietnam yang terletak di Pulau Galang, Museum di camp itu masih terawat rapi, beberapa peninggalan para pengungsi masih terlihat, namun rumah rumah nya sudah pada hancur dimakan usia karena sebagian terbuat dari papan dan kayu.

Kami tak sempat mampir ke Kampung Melayu tempat pak Kosot yang sudah meninggal dunia orang terakhir suku asli Batam yang rumahnya kini semak belukar berada di Pulau Rempang.  Karena harus ke Punggur lagi ke sekolah Muhammadiyah disana. Bersambung.....