Mengunjungi Makam Papan Tinggi di Barus. Muslim Awal di Nusantara. (2)


    Kulangkahkan lagi kakiku menapak tangga seribu makam papan tinggi itu. Kalau tadi derajat kemiringan tangga itu sekitar 45 sd 60. Namun anak tangga berikutnya sepertinya lebih curam lebih 70 derajat. 
     
    Tertatih tatih kunaiki tangga itu satu persatu. Sambil berdoa diberi kekuatan dan ketabahan. Enam anak tangga aku berhenti memandang ke laut lepas. 
     
    Maha besar Allah dengan segala ciptaannya. Kupandangi bukit disekitarku. Terlihat bukit yang kudaki inilah yang paling tinggi. Disebelah kanan menggumpal asap ke langit nun jauh disana. Itu pabrik sawit di Manduamas ujar ibu boru Hombing menjelaskan. 
     
    Sengaja aku duduk arah yang agak terlindung pohon. Tangga naik ke makam ini tidak sama dengan makam panjang yang ada di Bukit Siti Nurbaya Padang. Sepanjang pendakian banyak pohon besar jadi matahari tidak langsung menyinari jalan pendakian. 
     
    Makam Papan Tinggi dari mulai tangga awal hingga akhir tumbuhan hanya tumbuh perdu dan semak saja disekitarnya. Ini baru ditanami pokok Akasia batangnya yang paling besar sepergelangan tangan anak kecil. 
     
     
    Kenapa ya gak ditanami pohon Barus saja gumamku pada boru Hombing yang terus nanyain margaku. Alangkah bagusnya ya.
     
    Ada dimana sekitar sini pohon Barus tanyaku pada Boru Hombing. Disini sudah tak ada lagi pak jawabnya. Ada orang nanam Pohon Barus dekat Manduamas....tetapi tidak di pinggir jalan, agak masuk kedalam. jelasnya lagi. Jadi di Barus sudah tak ada lagi pohon Barus celetukku.
    Ada ratusan pohon akasia di tanam samping kanan dan kiri tangga seribu itu. Seandainya yang ditanam pohon Barus ya. Mantab juga. akupun ingin sekali ingin melihat bagaimana bentuk asli pohon yang terkenal di du ia itu. Secara nyata. 
     
    Akhirnya sampai juga aku dianak tangga terakhir, kujejakan kakiku kuucapkan Alhamdulillah.
    Kulihat sekeliling dataran pemakaman itu tidak terlalu luas paling memanjang 25 meter dan lebar belasan meter. 
     
    Dipagari dengan besi di cat kuning, terdapat makam panjang sekitar tujuh meter didalamnya. ada tumpukan batu koral kecil. Dua batu nisan tulisan aksara Arab. setinggi satu setengah meter. Hampir setinggi ku dari batu diukir. 
     
    Assalamualaikum ya ahlil kubur ucapku melangkah ke komplek makam itu. Setelah melepas Alas kaki. Kulafazkan doa yang bisa kuhafal kumenpleh ke kiri ada empat gundukan batu nisan dari batu kali agak besar tetapi kubur ini tidak panjang sekitar satu setengah meter saja. 
     

    Pohon tua aku tak tau jenis apa beberapa batang tumbuh dipuncak bukit itu. Angin bertiup dari Samudera Indonesia Samudera terluas di dunia. Kupandangi lagi lautan itu. Lautan yang menjadi satu dengan Lautan Teduh Samudera India sana. 
     
    Kubayangkan mereka dahulu menyeberangi beberapa lautan mulai dari Jazirah Arab Laut Andaman. Hingga ke Barus berniaga dan berdakwah mengembangkan Agama Islam.
    Aku pernah ke Jazirah India dan Arabia. Dengan pesawat udara selisih waktu Asia Barat sana dengan Asia Tenggara ini lebih empat jam. Sungguh tangguh mereka.
     
     
    Kumelangkah turun kembali ke bawah. Kupegang kuat kuat besi pem
     
    batas yang dipasang yang berfungsi juga untuk pegangan tangan. Hujan pula turun. Membasahi pemakaman dan lumayan lebat bajuku basah. Aku terus melangkah. Sampai juga aku diatas kataku pada si boru Hombing setelah bertemu semula di warung kecilnya. Berteduh sebentar melepas lelah. 
     
    Kubuka bajuku basah. Dibawah ada kamar mandi terasa hendak buang air kecil. Air dari pancuran jernih dan dingin sejuk untuk membasuh muka. 
     
    Alhamdulillah sampai juga niatku ke makam papan tinggi Aulia pembawa risalah Islam di bumi Nusantara. 
     
    lebih dua jam lamanya perjalananku naik dan turun dari dan ke makam itu. 
     
    ShollualanNabi.