Perjalanan kali ini sengaja bermalam di Sibolga. Ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah. Sumatera Utara. Tempat yang akan kami tuju adalah Barus sebuah kecamatan yang sejak dahulu kala jauh sebelum Masehi, zaman Mesir kuno sudah dikunjungi oleh para pedagang dari penjuru dunia. Fansur kapur barus getah kayu yang hanya ada di wilayah itu digunakan untuk pengharum dan pengawet mayat Mummi.
Di Hotel Syariah di Sibolga kami menginap terletak tak tajuh dari Masjid Agung Sibolga. Dengan mobil rental kami telusuri pantai indah Tapian Nauli. Memasuki Sorkam dan tak lama kemudian Barus. Kami terus ke tepian pantai yang indah di Samudera Indonesia. Terlihat gugusan pulau pulau nun jauh disana. Di pinggir pantai itu berdiri sebuah tugu peringatan TITIK NOL ISLAM DI NUSANTARA.
Berpoto disitu dan kami berpatah balik arah ke Sibolga. Berhenti di simpang tiga. Diseputaran simpang tiga itu banyak terdapat makam makam tua. Turun dan ziarah ke Makam makam tua disitu. Makamnya terawat dengan baik.
Beberapa tukang parkir berdiri di pinggir jalan mengarahkan kenderaan yang hendak parkir. Kami lewati saja, karena arahnya di sebelah kanan. Agak ke depan sedikit terdapat warung Pangeran namanya dihalaman warung itulah kami berhenti.
Pemilik warungnya mempersilahkan kami masuk ke warungnya. Nanti saya antar dengan speda motor ke tangga Makam ujarnya. Tanpa di pungut bayaran tetapi parkir disini dan mau makan minum boleh dipersilahkan.
Sebelumnya sudah dapat informasi tangga yang harus didaki untuk menuju ke makam tinggi itu seribu anak tangga.
"Tangga seribu uwak". ujar Ridwan Hasibuan.
Tidak ada kenderaan apapun untuk sampai ke puncaknya. selain berjalan kaki. Aku membayangkannya.
Aku pun dibonceng memasuki perkampungan menuju tangga yang katanya 700an buah saja itu. tak sampai seribu.
Dipangkal tangga itu terdapat sebuah warung dan mushola. Ada tanda himbauan memasuki makam hendak berwudhuk terlebih dahulu. Jangan lupa berdoa. Dan tidak membuang sampah sembarangan.
Hari menjelang tengah hari puluhan orang sudah mulai turun dari atas makam. Kami pula mulai naik. Matahari bersinar terang menyengat. Kulihat tangga keatas. kucoba melangkah. Satu barisan anak tangga aku sudah ngos ngosan dan berhenti. Tak sanggup rasanya untuk menghitung anak tangganya lagi.
Semangat pak ujar penziarah yang sudah turun. Kucoba menapak tangga lagi. Tertulis angka 200 anak tangga. Disitu terdapat warung menjual minuman mineral. Ini baru sepertiga pak. Ujar anak penjual minuman yang berulang alik naik turun keatas kebawah membawa dagangannya.
Belum sepertiga. Kau sajalah wak keatas usulku pada Ridwan. Nanti ambil poto yang ada tulisannya saranku. Kulihat Ridwan pun seakan enggan untuk mendaki lagi.
Aku bergumam dalam hati. Tingginya Shaik ini dimakamkan. Siapa lah yang dulu menggotongnya keatas bathinku.
Kucoba lagi melangkah setelah beristirahat sejenak enam anak tangga aku berhenti lagi.
Sudah lama sekali hendak berkunjung ke pemakaman tua sejarah Islam awal di Nusantara. Sudah sampai di Barus dan di tangganya tak larat pulak nak naik keatas sana. Alahai malangnya batinku
Kucoba lagi. Aku berhenti lagi duduk dianak tangga. kucoba menapaki tangga lagi tiba di warung menjual minuman yang kedua banyak pula orang yang turun naik berhenti disitu. Peluhku sudah membasahi baju.
Kududuk agak lama. Apa boleh buat cukuplah sampai disini ziarahku ke makam yang sudah sangat lama ingin kukunjungi ini. Sipenjual minuman itu kulihat pergi meninggalkan warungnya ke semak semak sekitar. Rupanya dia buang air kecil. Tak ada air diatas puncak pendakian itu untuk istinjak.
Melihat itu tak jadi kubeli minuman yang dijualnya. Ada tiga warung sepanjang pendakian itu orang menjual minuman dan makanan ringan. dua orang ibu ibu tidak memakai kerudung.
"Kami bukan Islam." Ujar ibu boru Hombing yang sangat ramah orangnya. Dulu disini ada rangka perahu terangnya lagi. Air laut sampai mencecah puncak bukit ini. Itu sebab kuburan itu ada disini. Daerah ini saja yang ada daratan. katanya lagi bercerita sambil menerima bayaran pembelian minuman yang dibeli pengunjung.
Islam itu abad ke enam. memang ada dalam sejarah banjir besar ketika itu didunia sehingga permukaan air laut sampai kepuncak bukit itu. Tanyaku.
Si ibu gak bisa menjawab. Yang kita tahu banjir besar itu saat zaman Nabi Nuh as.
Itulah cerita yang berkembang di sekitaran makam Papan Tinggi. Yang berceritapun para penjual minuman di warung itu.
Kampung orang Islam pertama di Nusantara itu dihuni mayoritas non muslim. hanya tiga buah warung disitu milik orang islam. Itupun mereka penduduk pendatang kesitu.Aku tak tahu mengapa di wilayah itu mayoritas non Muslim bermukim. Padahal disitulah wilayah pertama Islam bertapak di Bumi Nusantara ini ribuan tahun yang lalu. (bersambung)