Perahu Untuk Tasrifin Nelayan Pontoloan Palu Yang Terkena Gempa dan Tsunami


Sudah dua bulan sejak Gempa melanda Palu, pak Muslim hanya berdiam dikemah terpal yang dibangun para relawan. Pria 60 tahun ini adalah seorang nelayan di Pontoloan. Pontoloan satu daerah yang sangat parah terkena tsunami.

Gambar mungkin berisi: 2 orang, pohon, luar ruangan dan alamTasrifin, putra pak Muslim berusia 30an tahun bercerita, sewaktu gempa dan tak lama tsunami melanda perkampungan nelayan di Potoloan itu, ia dan keluarganya sedang dirumah, bersiap siap hendak melaut.

"Bapak waktu itu berat sekali hatinya hendak berangkat." ujar Tasrifin saat kutemui di pemukiman korban gempa dan tsunami Pontoloan.
Air terus naik sudah hampir sepinggang, kami terus keatas, ibu dan adik perempuanku yang berusia 11 tahun. Seakan berburu dengan waktu, berlari keatas, air menggunung, pondok mereka disapu air, termasuk perahu, pancing dan jaring kecil di perahu pun dilalap gelombang.
Hanya pakaian dibadan yang terbawa, begitu cepatnya air bah itu memporakporandakan perkampungan nelayan ditepi pantai itu.

Nyaris sejak itu makan minum dan pakaian serta kebutuhan lainnya, diberi bantuan oleh posko-posko yang ada disitu.
Petang itu, dengan mata yang sayu, pemuda tamatan SMA yang belum menikah itu memandangiku yang datang bersama relawan psikososial. Kudekati Tasrifin, dia sedang menjentik jentikkan kuku jarinya, terlihat panjang, sejak gempa melanda belum dipotongnya lagi beberapa kuku kuku jarinya itu.

Selama ini ini keluarga pak Muslim pergi melaut menangkap ikan di teluk Palu, mereka dari suku Kaili, sejak nenek moyangnya sudah jadi Nelayan. Perau kecil mereka entah kemana di sapu gelombang, begitu juga jaringnya.
Awalnya Tasrifin, agak trauma melaut. "Gimana gitu ya, liat laut seperti apa."  Namun, pak Muslim menyampaikan, kalau ada perahu, ia siap melaut lagi.
Berbulan bulan seperti ini, tambah stress ucapnya tidak ada yang dikerjakan.

Harga satu perahu berikut perlengkapannya sekitar 3 (tiga) juta rupiah. kata Tasrifin, saat kutanya ada sekarang yang jual perahu seperti perahu mereka yang hilang disapu gelombang itu. Ada, kata Pak Muslim tapi dia bilang sekitar 4 (empat) juta berikut jaring dan peralatan pancingnya.

Selama ini mereka hidup dari tangkapan ikan laut sejenis cakalang, ukuran sejengkal orang dewasa, dijual harganya sekitar rp. 10.000,- rupiah seekornya.
"InsyaAllah kalau melaut, dapat 10 sampai 20 ekor ikan cakalang itu." ujar pak Muslim. Sudah cukup menghidupi keluarga mereka. Seorang anak pak Muslim sudah menikah dan tidak tinggal di Palu.

Nelayan seperti pak Muslim, tidak bermukim di Pontoloan saja, disepanjang pantai teluk Palu dari Talise sampai ke Donggala dan Sigi, ribuan jumlahnya. Ada yang bekerja dengan orang yang mempunyai perahu besar. Sebagian pula sebagai pekerja pelabuhan, angkut angkut barang. kata Tasrifin.

Itulah yang jadi masaalah, bila seorang kawan dapat bantuan misalnya, yang lain menjadi iri dan cemburu, ini akan menjadi pertengkaran. "Jadi bantunya sebagai pribadi saja" aku dinasihati oleh volunter yang ada disana. Tapi pak Muslim dan Tasrifin mengatakan tidak terjadi apa-apa.

Jadilah petang itu sebuah perahu untuk pak Muslim kami beli. Pagi ini Senin 3/12 pak Muslim sudah mulai melaut.
"Pagi ini so mulai melaut." kata Tasrifin
"Coba parahu, mudah-mudahan besok rezki hasil tangkapan banyak." lanjutnya lagi.
"Terima kasih banyak sebelumnya". katanya lagi.

Ia, semoga ada yang tergerak hatinya membantu Tasrifin Tasrifin yang lain.