Boleh dikata mereka sekeluarga adalah muslim pertama dari Ban Ngew Distrik Muang Houn provinsi Oudomxai Laos, yang memeluk Islam.
Aku beberapa kali ke Laos, Ramadhan tahun lepas (1440), kami sholat taraweh dan sholat jumat pertama di kampung yang dihuni 16 orang keluarga muslim yang sebagian besar lelakinya belum di khitan itu.
Dua anak lahir dari pasangan suami isteri masih kerabat Ismail. Itulah anak pertama lahir dari keluarga muslim di kampung itu.
Ismail sedikit sudah bisa sholat belajar di satu madrasah di Thailand. Ada persamaan bahasa Thailand dengan Laos, hampir 60%. Tak begitu sulit bagi Ismail belajar.
Tetapi kami, lumayan sulit berkomunikasi. Setelah di ketik dari bahasa Laos di translate ke English dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Ismail mendapat bea siswa di Mahad Said bin Zaid Batam. Untuk belajar study Islam dan Bahasa Arab.
Ismail yang sudah berkeluarga ini, terpaksa harus pulang kembali ke Laos, isterinya hamil dan melahirkan di Oudomxai.
Pada saat yang sama Ayahnya pula meninggal dunia.
Tak dapat dibayangkan betapa kalutnya Ismail. Tak satupun dari mereka disana yang tahu bagaimana menangani mayit secara Islam.
Di Vientiane ibukota Laos, ke Oudomxai sekitar 700 kilometer. Dari situ pula ke kampung Ismail satu hari lagi. Menunggu kenderaan umum yang ada.
Ketua kampung pula, tidak suka kepada keluarga Ismail. Karena mereka Islam.
Ayahanda tercinta orang yang selama ini agak disegani oleh penduduk kampung itu, tidak dikafani sebagaimana mestinya, kalau hendak dimakamkan di kampung itu. Harus ikut adat istiadat kampung.
Tidak ada tanah pemukiman bagi muslim disana. Akh...entahlah ...
Poto yang dikirim Ismail kepadaku, terlihat Ayahnya memakai pakaian Jas lengkap. Dengan pakaian seperti itulah ayahanda tercinta dimakamkan.
Mau apalagi.....
Setelah itu...Penduduk kampung itu melalui ketuanya, mengajak kembali Ismail kembali ke agama semula....atau????.
Sejak saat itu Ismail hijrah ke Vientiane. Bersama isteri dan kedua anaknya, mereka tinggal di satu kampung sekitar 50 kilometer dari ibukota negara Komunis yang masih aktif di dunia ini. Dia tetap dalam Islam.
Subhanallah. Tak ada lagi orang di kampung itu yang mengerti sholat dan mengajari mereka mengenal huruf hijaiyah.
Idul Adha tahun lalu aku kembali ke Laos, mengunjungi Ismail, alhamdulillah beberapa orang Aghniya memberikan qurbannya untuk dipotong disana. Tidak mungkin kami potong di kampung Ismail, bahkan di ibukota provinsi Oudomxai yang lebih dekat ke kampung Ismail pun tidak bisa. Ya begitulah.
Seorang teman pernah mengatakan bahwa, duaratus ribu kali kita ucapkan salam di Vientiane, mungkin hanya seorang yang mengerti dan membalasnya. Itupun bukan orang Laos. Warga Islam pendatang ke Laos baik dari Pakistan India Kamboja Thailand.
Laos salah satu negara termiskin di Asia Tenggara, negara yang tak punya akses ke laut ini tidaklah mudah orang seperti Ismail mendapat pekerjaan.
Alhamdulillah beberapa teman dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Laos ada yang mengenal keluarga yang memang sangat perlu dibantu ini, mengirimkan infaq dan sodaqoh nya. Demikian pula saudara dan sahabat dari Malaysia dan Indonesia.
Dalam kesempatan ini, sangat sangat kami ucapkan terima kasih semoga Allah yang membalasnya.
Pak tahun ini kalau mau buat qurban lagi sudah boleh di kampung kami. Ketua kampung lama sudah ganti tulis surel Ismail.
Alhamdulillah jawabku.
Ingat pengalaman tahun lalu daqing qurban itu terpaksa kami panggang terlebih dahulu sebelum dibagi bagikan beratus kilometer dan berhari hari pula waktunya.
Meskipun Laos bertetangga bebatas langsung dengan Cina, di negara itu tidak seorang pun ada yang meninggal akibat Corona.
Kami makan pulut nasi dengan cendawan dan sayuran lain pak. tulis Ismail. Dia menanam cendawan di dalam rumahnya sebagian dijual membeli beras.
Allah selalu melindungimu Ismail. Dan diberkati.
Insyaallah berlalulah musibah ini, Idul Adha kita berjumpa.
Aamiin ya robalalaamiin.