Keunikan Masjid Kesultanan Ternate Maluku Utara
Masjid tua yang berusia 700 tahun lebih
Kesempatan datang ke Ternate setelah mengikuti Tanwir Muhammadiyah di Ambon, memang sengaja mengunjungi pusat Kesultanan Islam pertama di daerah timur Indonesia. Ambon adalah provinsi Maluku sementara Ternate kini adalah provinsi tersendiri yaitu Maluku Utara.
Sekitar satu jam penerbngan dari lapangan terbang Pattimura Ambon tiba di lapangan terbang Sultan Babullah Ternate hari menjelang senja. Dari Bandara ke kota naik taksi, Keraton atau Kedaton orang sana menyebutnya dilalui, komplek Istana Kesultanan terletak disebelah kanan jalan, sementara didepannya diseberang jalan ada lapangan, saat itu sedang berlangsung kompetisi adu tinju. lapangan ini tidak begitu luas dibatasi jalan menuju masjid Sultan, masjid Sultan Ternate ini terletak di kawasan Jalan Sultan Khairun, Kelurahan Soa Sio, kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara.
Komplek Istana terlihat suram kurang terawat, sepertinya sudah lama tidak dicat ulang, beda dengan Istana Kesultanan Tidore. Demikian juga masjidnya, masjid di Tidore terlihat rapi dan baru direnovasi, lantai keramik baru, masjid di Ternate lantai nya masih ubin berwana maron yang sudah termakan usia.
Seseorang menghampiriku sesaat hendak mengambil wuduk ditempat wuduk yang terletak disebelah kiri masjid, berkata : “Ada kopiah” tanyanya.
“Tidak ada” jawabku. Karena aku memakai topi pet logo Muhammadiyah yang kubeli di pameran Tanwir Ambon, dan topi itu kusimpan didalam tas punggung yang kutitipkan di kedai didepan masjid.
“Nanti pakai kopiah ya, ada didalam jalan dari samping sini.” ujar bapak tua itu lagi. Aku mengangguk, dan selesai wuduk masuk kedalam majid, beberapa kopiah terletak diatas rak, kuambil sebuah, kulihat kumuh sekali, dan berbau khas lama tidak dijemur atau dibersihkan.
Terdengar azan dari masjid lain. Namun saat itu di masjid Sultan tidak mengumandangkan azan melalui speaker. Masjid ini menjadi bukti keberadaan Kesultanan Islam pertama di kawasan timur Nusantara. Kesultanan Ternate mulai menganut Islam sejak raja ke-18, yaitu Kolano Marhum yang bertahta sekitar 1465-1486 M. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500), yang makin memantapkan Ternate sebagai Kesultanan Islam dengan mengganti gelar Kolano menjadi Sultan, menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, memberlakukan syariat Islam, serta membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Kopiah khas petugas masjid seperti bersorban tetapi tidak besar, orang tua yang menegur aku tadi yang menyuruh memakai kopiah bila hendak shalat di masjid Sultan, mengumandangkan Azan, suaranya lirih hanya terdengar disekitar jamaah saja. Tak banyak jamaah yang hadir sekitar belasan orang saja.
Masjid ini pun tidak membenarkan jamaahnya memakai sarung, dan aturan aturan lain. Menyimpan banyak sejarah tembok nya tebal agak hampir 50 cm, terlihat dari jendela yang menghadap ke Barat.
Peraturan yang tetap dilaksanakan hingga kini
Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Sultan Ternate yang disebut juga Sigi Lamo. Masjid ini terkenal unik karena memiliki aturan-aturan adat yang tegas seperti larangan memakai sarung atau wajib mengenakan celana panjang bagi para jamaahnya, kewajiban memakai penutup kepala (kopiah), serta larangan bagi perempuan untuk beribadah di masjid ini. Berbagai aturan ini konon berasal dari petuah para leluhur (yang disebut Doro Bololo, Dalil Tifa, serta Dalil Moro) yang hingga kini masih ditaati oleh masyarakat Ternate, terutama di lingkungan kedaton. Menurut keterangan Imam Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem atau Kadhi, larangan-larangan tersebut memiliki dasar aturan yang kuat. Sejak dahulu, masjid memang menjadi salah satu tempat yang dianggap suci dan harus dihormati oleh masyarakat Ternate. Larangan kaum hawa untuk beribadah di masjid ini didasarkan pada alasan untuk menjaga kesucian masjid, yaitu supaya tempat ibadah ini terhindar dari ketidaksengajaan perempuan yang tiba-tiba saja datang bulan (haid).
Di samping itu, kehadiran perempuan ditengarai juga dapat memecah kekhusyukan dalam menjalankan ibadah di masjid ini. Sementara larangan bagi jamaah yang memakai sarung atau pakaian sejenisnya didasarkan pada alasan yang bersifat tasawuf. Menurut kepercayaan mereka, posisi kaki pria ketika salat dengan mengenakan celana panjang menunjukkan huruf Lam Alif terbalik yang bermakna dua kalimat syahadat. Hal ini sebagai perlambang bahwa orang tersebut telah mengakui ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai utusannya, sehingga jiwa dan raganya telah siap untuk melaksanakan ibadah salat. Oleh sebab itu, setiap pria yang akan melaksanakan ibadah wajib mengenakan celana panjang. Untuk menertibkan aturan-aturan adat ini, setiap datang waktu salat, Balakusu (penjaga masjid) akan mengawasi setiap orang yang hendak memasuki masjid. Jika ada jamaah yang memakai sarung, maka akan ditegur dan disuruh mengganti dengan celana panjang. Jika tidak, maka jamaah tersebut disarankan untuk salat di tempat lain. Tak hanya wajib mengenakan celana, para jamaah juga diharuskan memakai penutup kepala atau kopiah. Hal ini agar para jamaah tidak terganggu oleh helai-helai rambut ketika sedang melakukan salat. Berbagai macam aturan ini berlaku tidak pandang bulu, sehingga harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk sultan dan para kerabatnya. Di samping peraturan-peraturan unik tersebut, berbagai ritual keagamaan yang diselenggarakan oleh pihak kesultanan juga menambah daya tarik tersendiri bagi masjid ini.
Masjid yang terletak dikaki gunung punya tradisi tersendiri.
Salah satu tradisi yang setiap tahun diadakan di Masjid Sultan Ternate adalah Malam Qunut yang jatuh setiap malam ke-16 bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini, sultan dan para kerabatnya dibantu oleh Bobato Akhirat (dewan keagamaan kesultanan) mengadakan ritual khusus yaitu Kolano Uci Sabea, yang berarti turunnya sultan ke masjid untuk salat dan berdoa.
Kolano Uci Sibea biasanya dimulai dari kedaton menuju masjid untuk melaksanakan salat Tarawih. Sekitar pukul setengah delapan waktu setempat, sultan akan ditandu oleh pasukan kerajaan menuju masjid dan diiringi alunan alat musik Totobuang (semacan gamelan) yang ditabuh oleh sekitar dua belas anak kecil yang mengenakan pakaian adat lengkap di depan tandu sultan. Konon, alat musik ini merupakan pemberian Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) ketika salah seorang Sultan Ternate berguru kepadanya. Sebelum salat Tarawih dilakukan, para muadzin yang terdiri dari empat orang, mengumandangkan adzan secara bersama-sama. Menurut sebagian orang, ini untuk mengingatkan masyarakat Ternate tentang empat Soa (kelurahan pertama) di daerah Ternate. Empat Soa ini yaitu Soa Heku (Kelurahan Dufa-Dufa), Soa Cim (Kelurahan Makassar), Soa Langgar (Kelurahan Koloncucu), dan Soa Mesjid sultan sendiri. Namun, ada juga yang percaya bahwa pengumandangan adzan oleh empat muadzin tersebut melambangkan empat kerajaan terkuat yang masih saling bersaudara di kawasan Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Keempat kerajaan ini dalam kepercayaan masyarakat setempat biasa disebut Moloku Kie Raha (pemangku empat gunung atau kerajaan).
Usai melaksanakan Tarawih, sultan akan pulang ke kedaton dengan ditandu kembali seperti ketika keberangkatannya ke masjid. Di kedaton sultan bersama permaisuri (Boki) akan memanjatkan doa di ruangan khusus, tepatnya di atas makam keramat leluhur. Usai berdoa, sultan dan permaisuri akan menerima rakyatnya untuk bertemu, bersalaman, bahkan menciumi kaki sultan dan permaisuri sebagai tanda kesetiaan. Tentu saja, pertemuan langsung antara sultan dan rakyatnya ini menarik minat masyarakat di seluruh Ternate dan pulau-pulau di sekitarnya.
Dalam satu tahun, ritual Kolano Uci Sabea dilaksanakan empat kali, antara lain pada Malam Qunut, Malam Lailatul Qadar (keduanya pada bulan Ramadhan), serta pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pelaksanaan Kolano Uci Sabea dilakukan secara turun temurun oleh setiap Sultan Ternate hingga kini. Menurut kepercayaan, dalam kondisi apapun Kolano (Sultan) memang harus melakukan Sabea (salat) di Sigi Lamo (Mesjid Sultan). Selain mengunjungi masjid tua peninggalan Kesultanan Ternate ini, wisatawan juga dapat mengunjungi objek wisata sejarah lainnya, seperti Kedaton Kesultanan Ternate, Benteng Orange, Benteng Kastela, Benteng Sentosa, serta benteng-benteng peninggalan kolonial lainnya.