Kemarin lebaran
sengaja ke rumahnya, aku memanggilnya abang bapak Aziz, terkadang jadi bang
Aziz saja kalau cepat cepat. Anaknya tertua lelaki bernama Aziz. Umurnya bang
bapak Aziz sudah 83 tahun. “Agustus
mendatang umurku sudah 84 tahun.” Ujarnya sambil tersenyum, giginya sudah
dipasang gigi palsu, jadi makannya sekarang kuat, ujar si Butet anak perempuan
bungsunya yang terus merawatnya sepanjang hari. Istri bang Pontas sudah lama
meninggal dunia, hampir dua belas tahun lalu. Sejak itu tidak berapa lama bang
Pontas sakit dan terbaring di tempat tidur.
Kami belikan dia
sebuah kursi dorong bisalah dia sesekali didorong ke depan rumahnya di jalan
Merpati Blok IV Lubuk Baja Batam. Blok
IV perkampungan awal pindahan tahap kedua dari kebakaran Sei Jodoh. Dulu di Sei
Jodoh rumah bang Pontas dekat gereja HKBP, sebelahnya ada toko yang sangat
terkenal waktu itu Toko Horas namanya, pemiliknya orang dari daerah Sipirok
Tapanuli Selatan. Dilingkungan itupun banyak penghuninya orang dari daerah
sekitar Mandailing Tapanuli Selatan.
Bang Pontas masih
lancar berbicara, “Kalau cerita enggak berhenti henti udak.” Kata Butet, semua
dia ingat. Telinganya pun masih bagus mendengar, hanya saja dia tak bisa
bangkit sendiri, apalagi berjalan, ya jadi semuanya diatas tempat tidur. “Sekarang
Padang Lawas sudah jadi kota.” Kata bang Pontas, mengenang tahun 1964 dia sudah
di Batam melanglang buana hampir diseluru pelosok kepulauan Riau. Terakhir dia
di Tambelan, mengajar jadi guru disana, seorang wanita peranakan Tionghoa jatuh
cinta kepadanya, dan dinikahinya secara Islam. Setelah itu mereka merantau ke
Batam.
Saat itu ada dua
marga Hasibuan yang menikah dengan wanita keturunan Cina, satu bang Pontas
Hasibuan dan satu lagi bang Khairul Hasibuan , dua pula yang menikah dengan
Bidan satu bang Belius Hasibuan dan bang Abu Samah Hasibuan. Ramai ya marga
Hasibuan ketika itu, dibuatlah satu perkumpulan si Raja Hasibuan di Batam. Dari
marga Hutagalung, Panggabean, pokoknya pomparan si Raja Hasibuan, tak kira
Islam atau non Islam, perkumpulan itu tak bertahan lama, karena keturuan Si
Raja ini bertambah banyak dan masing masing membuat perkumpulan pulak asal
kampungnya.
Terakhir didaulat
pula seorang keturunan asal Tionghoa (Cina) mendapat marga Hasibuan, salah seorang
pengusaha cukup terkenal di Batam yaitu Abidin Hasibuan. Namun sebagian besar
angkatan pertama Hasibuan datang ke Batam itu sudah banyak yang meninggal
dunia, agaknya tinggal bang Pontas Hasibuan asal desa Janjilobi ini yang masih sehat diusia 83 tahun, jadi ingat kepada nya setiap hari lebaran seperti saat
sekarang ini, dulu diawal kami datang ke Batam, kalau mau merasakan masakan
rumah ya kerumah beliau, merasakan daun ubi tumbuk (Naiduda) makanan khas
Mandailing itu, meskipun kak mak Aziz orang Cina tetapi dia sudah sangat mahir
makanan kesukaan bang Pontas.
“Marsimapan hita
da bang.” Ucapku dalam bahasa Mandailing, “Bettak na pasuo be hita.” Lanjutku
lagi. Bang Pontas tersenyum sambil setengah menjerit dia berujar, “Jadi ho si
Imbalo, ayah ni si Jogie kan, mahu ingot.”
Ucap bang Pontas, rupanya sejak tadi waktu kami bersalaman cerita kesana
kemari, dia belum juga mengingat siapa namakua. Maklum sudah agak lama juga tak
ke rumahnya disamping itu tak terbiasa memanggil nama orang yang sudah punya
anak bagi kami orang Mandailing. Banyak
sekali kenangan indah bersama keluarga ini, banyak pelajaran tentang hidup
didapat darinya.
“Songonon ma
sudah suratan dibaen na maha kuaso i.” Katanya lagi sambil tersenyum, berbaring
, kami berhadap hadapan. Kakinya separuh turun ditepi ranjang. Anakku si Jogie
yang selalu diingatnya, datang menyalami bang Pontas. Jogie yang dulu 34 tahun
masih bayi yang lalu selalu di gendong abang dan kakak Mak Aziz kalau menangis,
rumah kami berdampingan saat itu di blok IV.
Kami tinggalkan
bang Pontas petang itu ada pulak tamu dari pulau yang datang menunggu di rumah
ingin bertemu lebaran.