Dekat pintu
keluar sebelah kiri Masjid Raya Batam, kulihat kak Tatok duduk bersama Faisal,
kuhampiri, dia tersenyum, menjulurkan tangannya, kepalanya agak mendongak ketas
sedikit melihatku yang membungkuk sedikit, kami bertatapan saling menyapa. Kulihat lembaran lembaran putih di kumisnya mulai berserak. Hari itu Jumat,
jamaah sholat sudah mulai bersurai.
“Aku sudah
pensiun.”Katanya masih tetap duduk dan aku ikut bersila di depannya. kak Tatok kelihatan
muda, tampan seperti dulu, sedikit kerut dekat matanya, rambutnya masih tetap lebat,
seperti dulu.
Tahun 1981 an dia datang ke Batam, di Batam lagi “demam” ngbreak dengan perangkat radio amitir. Saat
itu aku didaulat jadi sekretaris Radio Antar
Penduduk Indonesia (RAPI) untuk daerah Batam. Komunikasi Radio
Antar Penduduk (KRAP) ini bergerak di frequency 11 meter.
Otorita Batam
ketika itu banyak merekrut para sarjana dari berbagai disiplin ilmu dan dari
berbagai universitas terkemuka di Indonesia, seperti Mas Tatok mereka
ditempatkan dalam mess di Sekupang Senior Quarter namanya. Beberapa penghuni SQ
itu menjadi anggota KRAP.
“Saya dulu di
Kartini ngajar Biologi.” Ujarnya. Sekolah swasta Kartini didirikan ibu Sri
Sudarsono, isteri Kepala Badan Pelaksana Otorita Batam, Soedarsono, seorang
Jenderal masih adik ipar dari pak Habibie mantan Presiden Indonesia ke-tiga. Banyak
teman teman dulu yang diperbantukan mengajar disana, seperti Asman Abnur,
Arifin Nasir, tambah kak Tatok lagi.
Sebenarnya nama
alumli Institut Pertanian Bogor (IPB) ini tertulis Tato Wahyu Hardjanto. Rbentuk Dia lebih dikenal dengan panggilan kak
Tatok ada huruf “k” dibelakangnya. Sangat aktif di Pramuka, entah berapa kali
menjabat ketua pramuka 04 Batam, sampailah terbentuk Pemerintah Kota Batam,
sesuai ketentuan Wakil Kepala Daerah tingkat II yang jadi Ketua Pramuka. Bahkan
di Batam ada ketua pelaksana Harian.
Selaku salah seorang pembina andalan cabang, aku acap bertemu dengannya.
Suatu ketika aku pernah
diundangnya datang ke tempat pengeringan rumput laut di Stokok Jembatan empat. Sebagai
seorang yang ahli di bidang pertanian, usaha ini melibatkan petani rumput laut
didaerah itu. Tentu tujuannya ekspor , entah apa saja kendalanya. Usaha ini tak
berjalan lama.
“Aku rugi banyak
lho per Ucok.” Katanya. Kak Tatok selalu menyebutku dengan nama Ucok, nama
panggilan di udara saat ngebrik ngebrik dulu hingga kini masih melekat.
Sebenarnya usaha rumput laut itu bagus dengan keikutsertaan masyarakat, namun
harga jual tidak menentu cendrung anjlok.
Disamping itu limbah pembuangan dari kapal
yang sedang cleaning di perairan bebas mengotori rumput laut yang hampir siap
panen, hal ini susah untuk mengklaimnya kepihak mana.
Tanaman Padi pun
dicobanya, PH tanah di Batam memang tidak sesuai untuk tanaman kebutuhan hajat
hidup orang banyak ini, disamping itu
tidak ada sumber mata air di Batam, selain dari curah hujan. Lain misalnya
daerah Dabok Singkep ada juga air sungai yang mengalir sepanjang tahun.
Selama hampir
empat puluh tahun di Batam, apasih kak yang paling berkesan tanyaku padanya.
Wah banyak sekali ujar salah seorang pemeran Film Hantu Sei Ladi ini. Film ini
di buat di Batam, ternyata kak Tatok pun pandai berlakon ya. Ia terkekeh kekeh
saat menceritakan pengalamannya ditangkap seorang polisi Lalu lintas dan
digiring ke Kantor polisi, mobil yang dikendaraainnya tidak dilengkapi dengan
surat surat, dan memang saat itu hampir seluruh kenderaan proyek di Batam belum
punya surat surat lengkap. Saat ketemu komandan Satlantas itu, anggota polisi yang menangkapnya kena semprot ujar kak Tatok alumni SMA 3 Malang tahun 1976
ini.
Awal tahun 80 an
tak banyak kederaan di Batam, jenis land rover double gardan yang sanggup
menjelajahi jalanan di Batam yang belum beraspal apalagi keluar masuk proyek
seperti pembibitan ke Temiang sana.
Ada keperluan lain yang akan kukerjakan, aku pamit kepada kak Tatok yang masih iktikaf di dalam masjid Raya Batam itu, memang suasana di dalam nyaman apalagi setelah terpasang puluhan ac didalamnya.
Sehat selalu kak Tatok.