
Setibanya kami di pulau Caros air sudah pasang, sehingga pompong yang kami naiki bisa langsung merapat ke bibir pantai. Kalau air laut surut untuk ke darat kita harus melalui rumah panggung pak Awang. Tak ada pelantar disitu.
Pulau Caros adalah perkampungan Suku Laut, dulu Caros masuk wilayah Tanjung Pinang, kini telah masuk wilayah Batam. Bila hendak ke Caros dari Batam setelah Jembatan empat Pulau Rempang berbelok ke kiri ke Desa Sembulang. Dari dermaga Sembulang naik pompong ke Caros sekitar 20 menit lagi.
Perkampungan ini hanya di huni oleh 10 keluarga, dan keluarga itu semuanya masih sanak beranak dan kerabat pak Awang Sabtu, Pak Awang Sabtu mempunyai 8 orang anak, 6 orang anaknya sudah berkeluarga, dan tinggal di kampung itu.
Semuah rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap daun nipah/getah dan sebagian seng itu berdiri diatas laut, hanya sebuah bangunan mushala kecil ukuran 5 x 5 yang berada di darat.
Seorang dari anak pak Awang yang sudah berkeluarga tadi bernama Merna, hanya dia seoranglah dari delapan bersaudara anak pak Awang yang perempuan.
Tengah hari itu senin (22/08) kami melaksanakan shalat Juhur berjamaah di mushala kecil yang baru selesai didirikan, terlihat dua orang anak lelaki pak Awang ikut shalat. Di saf belakang ada tiga orang wanita yang ikut shalat, tetapi hanya seorang dari mereka yang memakai mukena (telekung).

Perempuan yang bermukenah bernama Halimah, suaminya bernama Den. Sementara seorang lagi yang tak ber-mukena namanya Ita, suami Ita bernama Jamil, keduanya perempuan itu adalah menantu pak Awang dan perempuan satu nya lagi yang tak ber-Mukena isteri pak Awang.
Merna,anak perempuan pak Awang tak ikut shalat karena sejak menikah setahun yang lalu, Merna telah berpindah agama mengikuti agama suaminya.
Kedatangan kami kepulau Caros, kononnya dalam rangka meresmikan pemakaian mushala kecil itu. Sudah beberapa hari yang lalu pak Awang memberitahukan "Datanglah mushala dah siap bile nak dipakai" ujar pak Awang melalui henponnya.
Penghidupan penduduk disitu adalah nelayan tradisional, selain itu mereka menyambi menjadi kuli dapur arang. Agaknya dengan adanya dapur arang dibuat disitu pak Awang yang masih muda, mulai bermukim disitu, puluhan tahun yang lalu, di tengah tengah hutan mangrove (bahan baku arang) yang subur.
Tak ada sesiapa pun lelaki di kampung itu yang dapat shalat, pak Awang sendiri tak begitu lancar mengucapkan duakalimat syahadat.
Jadi hanya Halimah seorang yang bisa shalat dan sedikit dapat membaca Quran, tentu, karena Halimah bukan penduduk asli pulau Caros. Itulah yang sedang kami bincangkan siapa agaknya yang berkenan dan siap datang ke pulau itu untuk mengajarkan Islam kepada mereka.
Mukena & Syahadat Bersama
Mushala kecil seperti di Caros, ada belasan buah telah selesai di bangun di merata tempat di sekitaran Batam. Hampir semua dibangun di perkampungan Suku Laut. Beberapa tempat telah ada Dai nya. Tetapi lebih banyak lagi seperti di Caros tak ada sesiapa yang rutin datang untuk membina dan mengajari mereka tentang Islam.

Siang itu ada hadiah Mukena untuk isteri pak Awang , sumbangan dermawan dari Batam, senang sekali kelihatan dia mendapat Mukena baru, tak tahu lah apakah itu Mukena pertama baginya, begitu pun dengan Ita anak menantunya mendapatkan sehelai Mukena juga. Meskipun Halimah telah mempunyai Mukena, dia pun mendapat sehelai yang baru.
Ada dua orang anak perempuan remaja tanggung, yaitu anak pak Jamil dan anak pak Bogol, mereka berduapun mendapatkan masing – masing seorang sehelai.
Merna, yang sedang duduk di samping kiri ibunya, melirik kearahku. : “Merna mau” tanyaku kepadanya, Merna mengangguk. Pak Awang yang juga duduk di samping kanan Merna tersenyum kecut sembari berkata “Boleh kah”? pak Awang tahu anaknya sudah tak Islam lagi. Pak Awang dan isterinya terlihat sayang betul kepada Merna, duduk pun diapit kedua orang tua itu, maklumlah hanya seorang Merna anak perempuan mereka.
“Kalau suaminya izinkan” jawabku. Sambil melirik ke sekeliling ruangan melihat dimana suami Merna duduk. “ Suamiku ada di rumah “ ujar Merna. Dan Merna bergegas memanggil suaminya dirumah yang tak berapa jauh dari Mushala .

“Tak apa kalau dia mau, aku izinkan “ ujar Julius suami Merna setibanya di Mushala. “Kalau begitu alangkah baiknya yang memakaikannya awak” saranku.
Jadilah siang itu Julius memasangkan Mukena kepada isterinya. Disaksikan ayah dan ibunya serta keluarga yang lain yang hadir di mushala itu. Terlihat berlinang air mata Merna, Merna yang pernah duduk di kelas 4 sekolah dasar ini, berjanji akan ikut shalat berjamah bersama Halimah.

Seorang lagi menantu perempuan pak Awang dari anak lelaki pak Awang yang bernama Minggu, mendapat Mukena. Minggu ini, sejak 3 tahun yang lalu setelah menikah dengan isterinya, telah berpindah agama,jadi non muslim. Minggu pun dengan rela hati memasangkan mukena kepada isterinya, mungkin seumur – umur baru itulah agaknya Minggu memegang Mukena, sehingga dia agak canggung dan tak pandai memasangkannya.
“Sudah lah biar aku saja” kata isteri Minggu sembari berkata, bahwa waktu kecil dulu dia pun pernah memakai Mukena.
Pak Awang terlihat tertegun dan bergumam, "Bagaimana ini mereka kan dah tak Islam"
"Tak apa kalau mereka rela" ujar ku "Beragama tak di paksa dan tak di pujuk pujuk" ujarku lagi. Sembari menjelaskan tentang ke-Tauhidan yang kufahami, kuajak mereka semua bersyahadat.
Mungkin ini hikmah kepada keluarga pak Awang. Di Siang itupun disiang bulan suci Ramadhan 1432 H dihari yang ke dua puluhdua kami bersama – sama mengucapkan dua kalimat syahadat , dibaca berulang ulang, orang – perorang termasuk Arman dari koran harian Batam Pos yang kebetulan ikut bersama ke pulau Caros, Koran harian yang baru mendapat penghargaan internasional ini menyumbangkan mushaf Quran.
Wajah tua pak Awang terlihat berseri seri, dia berharap anak dan menantunya kembali kejalan yang benar. Pak Awang pun sangat – sangat berharap ada orang yang dapat mengajarkan Islam kepada mereka…..Semoga.
0 Response to "Mukena Untuk Merna"
Post a Comment