Bertemu Keturunan Pendiri Kota Medan Guru Patimpus Di Kaki Gunung Sinabung.


Membawa tamu rekan dari Sabah Malaysia, mengenalkan sebagian daerah yang ada di Sumatera Utara. Sumatera Utara dari Utara di Pangkalan Susu hingga ke Natal, mencapai 700 kilo meter. Trif kali ini dari Kuala Namu ke Parapat, Kabanjahe, Brastagi, Tanjung Pura, Medan dan kembali Ke Kuala Namu. Selama 5 hari 4 malam.

Awal Mei 2018 lalu kami, malam pertama menginap di Pangururan, Pangururan terletak di Pulau Samosir Parapat, dari Pangururan bisa melalui darat naik kenderaan roda empat ke Kabanjahe. Pulau Samosir itu terletak ditengah Danau Toba, Danau yang terluas di Asean. Kalau hendak ke Pulau Samosir dari Ajibata (masih daratan Pulau Sumatera), naik Ferry ke Tomok (sudah di Pulau Samosir). Sekitar setengah jam perjalanan.

Sisi sebelah Barat Pulau Samosir terletak Kota Pangururan ibukota Kabupaten Samosir. Kota kecil terletak di tepi Danau Toba ini sedikit menjorok berupa tanjung, dari tempat itu hanya dihubungkan sebuah jembatan belasan meter sudah terhubung dengan daratan Pulau Sumatera. Mirip dengan Pulau Pukhet dengan daratan Thailand.

Malam kedua kami menginap di Brastagi, rencana semula di Kabanjahe, pertimbangannya lebih banyak pilihan penginapan di Brastagi dan lebih dekat ke Gunung Sinabung, toh rencana memang hendak mengunjungi Gunung Sinabung.

Dari Kota Sejuk Brastagi memasuki Kecamatan Simpang Empat terlihat puncak gunung Sinabung, pagi itu cuaca cerah tidak berawan, Gunung yang hampir sepuluh tahun itu terus erupsi tiada henti, terlihat indah dari kejauhan, sebelah kanan, terlihat hutan gundul terbakar oleh limpahan lahar, sebelah kiri masih terlihat menghijau.

Kami berjalan perlahan memasuki daerah kawasan yang sudah ditinggal penduduknya, rumah rumah yang tinggal rangka, rumah ibadah kosong dan atapnya berlubang. Sekolah dari tingkat SD SMP dan SMA tak lagi berpenghuni.

Dari Simpang Kampung Guruh Kinayan ke simpang Kampung Lau Kawar sekitar puluhan kilometer jalanan yang kami lalui beberapa kenderaan dari luar kota penumpangnya turun seperti kami juga mengambil gambar gambar dengan latar Gunung.
Petani yang sedang bekerja, meskipun tanda larangan daerah itu zona merah belum dicabut, sewaktu waktu erupsi yang tak terduga datang.

Diujung jalan anatar simpang ke Guruh Kinayan dan Lau Kawar terdapat sebuah warung, menjual makanan. Seorang ibu menjemur buah kopi yang baru dipetiknya. Hanya itulah warung yang sudah berani buka di daerah batas zona merah itu.

"Sembiring" ucapnya saat kami bersalaman. "Kami orang Islam" lanjutnya lagi melihat ekspresi wjah kami saat melihat warungnya. Ibu yang sedang menggerai biji kopi diatas alas berupa tikar itu tersenyum, mereka sudah Islam sejak dulu dulu lagi.
"Ini anak saya lelaki, sekarang sedang sekolah di MAN, di Kabanjahe" kata pak Sembiring lagi.
Seorang Remaja datang menyalami kami, kutanya, "Sembiring kai kam" yang menyahut Bapaknya "Sembiring Pelawi" baca:.Pendiri Kota Medan Itu Orang Karo Islam Yang Taat Lho.
Habislah aku, hanya bisa bahasa Karo bahasa setempat disana sekedar tanya kabar, Pak Sembiring langsung bercerita dalam bahasa Karo, salah satunya masjid yang tak berapa jauh dari warungnya sekarang sudah tak ditempati lagi, disamping orang sudah mengungsi dan atapnya pun rusak.

Untung ada Rubi Ginting, teman yang ikut bersama kami, (kami gantian nyetir kenderaan). Entah apa yang dibicarakannya, terkadang aku melihat mereka tersenyum. Ternyata pak Sembiring itu mengerti tentang Riwayat Hidup Guru Patimpus, orang yang semarga dengannya Sembiring Pelawi, tapi tak tahu entah pak Sembiring turunan yang keberapa.
Rubi Ginting Mahasiswa Mahad Abu Ubaidah Medan ini pun promosi agar anak pak Sembiring Pelawi itu Kuliah di Mahad agar jadi Dai seperti kakek mereka Guru Patimpus pendiri Kota Medan yang taat pada agama Islam.
Kami meninggalkan kampung itu menuju Kampung Guruh Kinayan, Kampung yang benar benar persis di kaki Gunung Sinabung tempat pendaki gunung mulai start mendaki.