Petang itu Jumat
(17/5) kami sengaja hendak berbuka puasa
besama mahasiswa Mahad Said Bin Zaid Batam. Dikabarkan sebelumnya para
mahasiswa dari berbagai Negara Asean itu sepekan sebelum lebaran akan libur,
ternyata liburnya dimajukan dua pekan sebelumnya.
“Hari Jumat besok,
terakhir mereka belajar, dan petang nanti bukber di Mahad.” Ujar Humam
memberitahu kepadaku. Sedikit kaget dengan kabar itu, karena rencana hendak
memberikan makanan berupa sambel ikan teri dan kacang tanah serta Mie instan
kepada semua mahasiswa yang belajar di Mahad itu terpaksa buru buru dilakukan.
Tidak kurang
ratusan mahasiswa yang belajar di Mahad itu, terdiri dari mahasiswa lokal dan
luar negara, seperti dari Piliphina, Kamboja, Thailand, Laos, Malaysia,
Singapura dan Vietnam. Yang dari Lokal, ada dari berbagai kota di Indonesia,
tak kurang lagi asal dari sekitar Kepulauan Riau. Mereka tinggal di Asrama dan
diluar asrama, kalau di Asrama taklah begitu sulit menemuinya, ini yang dari
luar asrama. Ada yang dapat bea siswa, ada yang biaya sendiri.
Waktu berbuka telah tiba, ruang belajar yang hanya berukuran sekitar 8 x 8 meter itu tak dapat menampung seluruh mahasiswa, untuk lelaki saja beberapa ruang kelas di pakai demikian pula untuk yang akhwat (perempuan), duduk sampai ke Taman depan kampus dan dimana saja. Dari lantai satu sampai ke lantai dua tempat makanan tersedia sudah penuh antrian ratusan mahasiswa itu. Melihatku berdiri antri dibelakang, Mudir dan ustadz yang antri di depan mempersilahkan aku maju kedepan mengambil makanan terlebih dhulu, tentu saja ku tolak, mereka juga sama ingin duluan dan sudah antri terlebih dahulu. Tetapi tetap saja ada mahasiswa yang mengambilkan makananku terlebih dahulu dan memberikannya kepadaku, akh mahasiswa kader Agama dan kader Bangsa ini pikirku menggumam. Begitu pedulinya mereka pada orang yang lebih tua.
Waktu berbuka telah tiba, ruang belajar yang hanya berukuran sekitar 8 x 8 meter itu tak dapat menampung seluruh mahasiswa, untuk lelaki saja beberapa ruang kelas di pakai demikian pula untuk yang akhwat (perempuan), duduk sampai ke Taman depan kampus dan dimana saja. Dari lantai satu sampai ke lantai dua tempat makanan tersedia sudah penuh antrian ratusan mahasiswa itu. Melihatku berdiri antri dibelakang, Mudir dan ustadz yang antri di depan mempersilahkan aku maju kedepan mengambil makanan terlebih dhulu, tentu saja ku tolak, mereka juga sama ingin duluan dan sudah antri terlebih dahulu. Tetapi tetap saja ada mahasiswa yang mengambilkan makananku terlebih dahulu dan memberikannya kepadaku, akh mahasiswa kader Agama dan kader Bangsa ini pikirku menggumam. Begitu pedulinya mereka pada orang yang lebih tua.
“Semua saja pak
yang dikasih.” Ujar Razak Amir lelaki 50 an tahun yang menetap di Singapura ini
melalui medsos kepadaku. Bang Razak demikian aku memanggilnya akan memberikan
paket sambel dan mie instan tadi kepada seluruh mahasiswa yang belajar di Mahad
itu.
“Tolong
dibuatkan, seperti yang bapak berikan sebelumnya.” Ujarnya Bang Amir
mengingatkan, bahwa awal ramadhan kami memberikan kepada mahasiswa itu terutama
mahasiswa asing, sambel ikan teri dalam mangkuk plastik. Jadilah sejak kamis
pagi kami sibuk mengerjakan sambel pesanan itu yang ratusan mangkuk jumlahnya,
tidak kurang belasan kilo ikan teri, belasan kilo pula kacang tanah dan belasan
kilo cabe dan bawang. Selesai juga paket sambel itu, selepas sholat jumat
dibantu ibu guru Sekolah Hang Tuah dan Karyawan lainnya yang membantunya siap
dibawa ke Mahad untuk dibagikan kepada para mahasiswa disana bertepatan dalam
acara berbuka bersama.
“Satu orang dari
Piliphina sudah pulang pak.” Ujar Arsyad ketua mahasiswa di Mahad itu memberitahukan
kepadaku, dia pulang ke Piliphina karena tiket pesawat sudah awal awal dibeli. Tak
dapat lah dia menikmati sambel ikan teri ini kaktaku sambil tersenyum. Sementara makanan lauk pauk makan berbuka bersama itu dimasak oleh pelajar putri yang tinggal diasrama itu. Lumayan menunya ada ayam goreng, tahu dan tempe goreng serta kerupuk. Jadi pas rasanya ada sambel.
“Saya besok
pulang ke Thailand pak.” Kata Imron, yang belum begitu bisa berbahasa
Indonesia. Ia pulang melalui Stulang Laut Johor naik Bus dari Larkin ke Hatyai.
Laluan ini acap kujalani, tengah malam sahur masih didalam Bus.
“ Bawak saja
sambelnya kalau masih ada untuk makan sahur.” Usulku, Imron hanya tersenyum
entah mengerti atau tidak dia apa yang kukatakan.
Beberapa mangkuk sambel
petang itu menemani makan berbuka bersama kami, lidah orang Asean terutama
orang Thailand Selatan, rata rata suka
pedas seperti kita orang Indonesia. “Ini kurang pedas pak, tidak seperti
kemarin.” Ujar Romsee anak Thailand yang duduk makan disebelahku. Padahal
perasaan kulihat dan banyaknya cabe yang diblender sewaktu ibu ibu memasak
lebih banyak dari semula.
Akh mungkin Romsee baru minum syrup berbuka jadi
lidahnya masih ada manis manisnya, jadi cabe yang cukup pedas itu pun terasa
tak pedas.
Ustadz Firdaus Lc.
mewakili Mahad, dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas perhatian
kapada Mahad, semoga Allah yang membalasnya. Saat pulang bertemu di masjid
Hamka hendak melaksanakan sholat Taraweh ustadz ini berkata. “Saya dapat dua
pak, satu dari isteri saya satu untuk saya.” Aku hanya tersenyum, memang
sengaja kita buat lebih banyak, tidak untuk para mahasiswa saja.